Home » , » SAHKAH SHALATNYA PRIA YANG MEMAKAI CELANA KETAT MENAMPAKAN BENTUK TUBUH

SAHKAH SHALATNYA PRIA YANG MEMAKAI CELANA KETAT MENAMPAKAN BENTUK TUBUH

Berdasarkan syariat dan hukumnya memakai pakaian apapun dibolehkan dalam Islam, asal sesuai dengan hukum-hukum Islam seperti tidak menampakan aurat, dan kecuali pakaian-pakaian tertentu yang termasuk dalam dalil-dalil yang menunjukkan pelarangan. Selain itu Islam tidak menetapkan model pakaian tertentu untuk shalat. Selama pakaian tersebut memenuhi syarat maka boleh dipakai untuk salat, apapun modelnya.

Dengan demikian, yang perlu kita pegang adalah bahwa hukum asal memakai celana panjang adalah mubah. Namun para ulama memang membahas keabsahan salat orang yang saat salat dengan memakai celana panjang pada 2 keadaan berikut:

1. Celana panjang yang dipakai masih menampakkan warna kulit dan menampakkan bentuk tubuh (ketat)

Pada kondisi ini para ulama ijma (bersepakat) bahwa hukumnya haram dan salatnya tidak sah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An Nawawi, ulama besar mahdzab Syafii, beliau berkata: "Jika sebagian aurat sudah tertutupi dengan sesuatu yang berbahan kaca, sehingga masih terlihat warna kulitnya, maka tidak sah salatnya tanpa ada perbedaan pendapat di antara ulama." (Al Majmu, 3/173)
Bahkan jika warna kulit hanya terlihat dengan samar, tetap tidak sah salatnya. Dijelaskan oleh Ibnu Qudamah, ulama besar mazhab Hambali, beliau berkata: "Menutup aurat sampai warna kulit tertutupi secara sempurna, hukumnya wajib. Jika warna kulit masih tampak oleh orang di belakangnya namun samar, yaitu masih bisa diketahui warna kulitnya putih atau merah, maka tidak sah salatnya. Karena pada kondisi demikian belum dikatakan telah menutupi aurat." (Al Mughni, 1/651)

2. Celana panjang yang dipakai telah menutupi warna kulit secara sempurna namun masih menampakkan bentuk tubuh (ketat)

Pada kondisi ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Sebagian ulama mengatakan shalatnya tidak sah. Diantaranya Ibnu Hajar Al Asqalani, ulama besar mahdzab Syafii, beliau berkata: "Aku mendengar ini dari Asyhab, bahwa orang yang mencukupkan diri salat dengan memakai celana panjang padahal ia sanggup memakai pakaian yang tidak ketat, ia wajib mengulang salatnya pada saat itu juga, kecuali jika ia tidak tahu malu." (Fathul Bari, 1/476)

Tidak sahnya salat orang yang memakai pakaian ketat juga merupakan pendapat Syaikh Ibnu Baz, mantan ketua Komite Fatwa Saudi Arabia, ketika ditanya tentang hal ini beliau menjawab: "Jika celana pantalon ini menutupi aurat dari pusar sampai seluruh paha laki-laki, longgar dan tidak ketat, maka sah salatnya. Namun lebih baik lagi jika di atasnya dipakai gamis yang dapat menutupi hingga seluruh pahanya, atau lebih baik lagi sampai setengah betis, karena yang demikian lebih sempurna dalam menutupi aurat. Salat memakai sarung lebih baik daripada memakai celana panjang jika tidak ditambah gamis. Karena sarung lebih sempurna dalam menutupi aurat." (Majmu Fatawa Ibnu Baz,1/68-69, http://www.ibnbaz.org.sa/mat/2480).

Dalam penjelasan Syaikh Ibnu Baz ini juga ditegaskan bolehnya salat dengan memakai celana panjang tanpa ditambah gamis atau sarung, asalkan tidak ketat. Namun sebagian ulama berpendapat salatnya tetap sah jika ia telah menutupi warna kulit dengan sempurna walaupun bentuk tubuh masih terlihat (ketat). Sebagaimana pendapat Imam An Nawawi, bahkan beliau membantah ulama yang berpendapat salatnya tidak sah:

"Jika warna kulit telah tertutupi secara sempurna dan bentuk tubuh semisal paha dan daging betis atau semacamnya masih nampak, salatnya sah karena aurat telah tertutupi. Memang Ad Darimi dan penulis kitab Al Bayan menyampaikan argumen yang menyatakan tidak sahnya salat memakai pakaian yang masih menampakkan bentuk tubuh. Namun pendapat ini jelas-jelas sebuah kesalahan." (Al Majmu, 3/173).

Demikian juga pendapat Ibnu Qudamah, beliau menyatakan sahnya salat memakai pakaian yang ketat namun beliau tidak menyukai orang yang melakukan hal tersebut: "Jika warna kulit sudah tertutupi dan bentuk tubuh masih nampak, salatnya sah. Karena hal tersebut tidak mungkin dihindari (secara sempurna). Namun orang yang salat memakai pakaian ketat adalah orang yang tidak tahu malu." (Al Mughni, 1/651).

Sebagian ulama juga berpendapat salatnya sah namun pelakunya berdosa dikarenakan memakai baju ketat. Sebagaimana pendapat Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, ulama besar di Saudi Arabia saat ini, beliau berkata: "Baju ketat yang masih menampakkan bentuk tubuh wanita, baju yang tipis dan terpotong pada beberapa bagian, tidak boleh memakainya. Baju ketat tidak boleh digunakan oleh laki-laki maupun wanita, terutama bagi wanita, karena fitnah wanita lebih dahsyat. Adapun keabsahan salatnya tergantung bagaimana pakaiannya. Jika pakaian ketat ini dipakai seseorang untuk salat, dan telah cukup untuk menutupi auratnya, maka salatnya sah karena aurat telah tertutup. Namun ia berdosa karena memakai pakaian ketat. Sebab pertama, karena dengan pakaian ketatnya, ia telah meninggalkan hal yang disyariatkan dalam salat, ini terlarang. Sebab kedua, memakai baju ketat dapat mengundang fitnah karena membuat orang lain memalingkan pandangan kepadanya, apalagi wanita." (Muntaqa Fatawa Shalih Fauzan, 3/308-309).

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa letak perbedaan pendapat di antara para ulama adalah dalam memutuskan apakah memakai pakaian ketat dalam salat itu sudah termasuk menutup aurat atau tidak. Dengan demikian ini adalah perkara khilafiyyah ijtihadiyyah, yang masing-masing pendapat dari ulama tersebut harus dihormati. Namun yang paling baik adalah menghindari hal yang diperselisihkan dan mengamalkan hal yang sudah jelas bolehnya. Sehingga memakai pakaian yang longgar dan lebar hingga tidak menampakkan warna kulit dan tidak menampakkan bentuk tubuh adalah lebih utama.

Kemudian perlu digarisbawahi, seluruh penjelasan di atas berlaku bagi setiap orang yang memiliki kemampuan dalam pakaian, ia berkecukupan dalam berpakaian dan mampu mengusahakan untuk memiliki pakaian yang longgar dan tidak ketat. Adapun orang yang tidak berkemampuan untuk berpakaian yang longgar, misalnya orang miskin yang hanya memiliki sebuah pakaian saja, atau orang yang berada dalam kondisi darurat sehingga tidak mendapatkan pakaian yang longgar, maka salatnya sah dan ia tidak berdosa. Berdasarkan hadits dari Jabir bin Abdillah yang menceritakan dirinya ketika hanya memiliki sehelai kain untuk salat, maka Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: "Jika kainnya lebar maka gunakanlah seperti selimut, jika kainnya sempit maka gunakanlah sebagai sarung." (HR. Bukhari no.361).

Allah Taala juga berfirman: "Bertakwalah kalian semampu kalian." (QS. At-Taghabun 16)
Demikian penjelasan kami. Wallahualam. [Ustadz Kholid Syamhudi, Lc./Yulian Purnama].


Sumber: inilah.com

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Artikel